PERNAHKAH anda saat merasa sedih lalu membuka TikTok untuk mencari hiburan? Seringkali anda menemukan beberapa konten yang sangat relevan dengan keadaan anda. Ini bukan kebetulan, melainkan cara kerja sistem cerdas yang disebut algoritma. Tanpa menyadarinya kita telah terjebak dalam fenomena “Budak Algoritma”.
Beberapa hal yang kita konsumsi seperti berita, tontonan, bahkan suasana hati mulai dikendalikan oleh teknologi. Permasalahan ini diperlukan kontribusi beberapa lapisan masyarakat untuk sadar dengan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) menggelar diskusi bersama penulis buku ‘Budak Algoritma: Mengapa Kita Tak Bisa Berhenti Scroll?’ Mohamad Yusak Anshori. Guna membedah fenomena ini dan mengajak mahasiswa untuk lebih melek teknologi.
Algoritma mempelajari minat pengguna berdasarkan konten seperti suka, komentar, simpan, dan durasi menonton. Semakin sering pengguna berinteraksi dengan jenis konten tertentu, semakin besar peluang algoritma menampilkan konten yang serupa. Konten yang relevan akan mendapatkan prioritas.
Algoritma akan lebih sering menampilkan konten dengan preferensi pengguna untuk meningkatkan keterlibatan. Hal ini akan menyebabkan pengguna merasa nyaman dengan konten yang ditampilkan dan menghabiskan waktunya untuk menonton secara terus menerus. Namun, di balik kenyamanan ini, ada beberapa dampak yang muncul.
Pertama, kita terperangkap dalam filter bubble atau gelembung filter. Hanya melihat informasi yang sesuai dengan keyakinan kita tanpa mencari sumber yang berbeda atau membandingkan informasi satu dengan informasi lainnya. Kondisi ini dapat menghambat inklusi sosial dan membuat kita tidak bisa menerima perbedaan.
Kedua, berdampak pada kesehatan mental. Menonton berbagai kehidupan orang lain yang terlihat sempurna dapat memicu kecemasan dan rasa iri. Selain itu, algoritma dapat memperlebar jurang pemisah informasi. Jika profil digital kita didominasi konten hiburan, kita bisa kehilangan kesempatan yang sama untuk mengakses informasi penting.
Lalu bagaimana cara melepaskan diri? Jawabannya bukan membuang ponsel, melainkan dengan menjadi pengguna yang bijak dan cerdas. Inilah yang ditekankan dalam diskusi ini, untuk menunjukkan peran penting pendidikan tinggi dalam menyikapi isu modern. Literasi digital adalah sebuah proses pembelajaran seumur hidup. Kemampuan untuk menanyakan, ‘Siapa yang membuat konten ini? Apa tujuannya? Apakah informasi ini berasal dari sumber yang terpercaya?’ adalah inti dari pendidikan kewarganegaraan global di era digital.
Pada akhirnya, teknologi adalah alat. Seperti pisau yang bermata dua bisa digunakan untuk memotong buah yang menyehatkan atau untuk melukai. Kuncinya ada pada kesadaran dan pengetahuan kita sebagai pengguna untuk mengambil kendali dari genggaman algoritma. Kita bisa memulai dengan langkah kecil yang nyata seperti mengatur waktu penggunaan media sosial, berhentilah sejenak dan berpikir sebelum mengklik sesuatu. (***)