MASA usia dini adalah periode emas bagi perkembangan anak. Di fase ini, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat pada berbagai aspek. Mulai dari fisik-motorik, kognitif, bahasa, moral-agama, hingga sosial-emosional. Salah satu yang paling penting, namun kerap terabaikan, adalah perkembangan sosial anak.

Perkembangan sosial mencakup kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan, membangun pertemanan, memahami orang lain, serta mengelola emosi. Sayangnya, banyak orang tua yang belum menyadari bahwa pola asuh dan interaksi sehari-hari sangat berpengaruh terhadap aspek ini. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua akan diamati, dinilai, dan ditiru anak baik secara sadar maupun tidak. 

Ketika anak memasuki usia pra-sekolah, kemampuan beradaptasi seharusnya sudah mulai terbentuk. Namun, kenyataannya banyak ditemukan keterlambatan penyesuaian sosial di masa transisi ke sekolah. Anak bisa menunjukkan tanda-tanda seperti takut berpisah dari orang tua, bermain sendiri, terlalu impulsif atau hiperaktif, bahkan sering bertengkar dengan teman sebaya.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut penelitian, prevalensi perilaku antisosial pada anak mencapai 12–16% di Amerika Serikat, 22% di Argentina, dan 23% di Hong Kong. Hasil observasi awal di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kasih Ibu Wonokromo juga menemukan adanya anak yang sering menangis berkepanjangan, kurang berinteraksi, atau terlibat konflik dengan teman. 

Banyak faktor yang memengaruhi perkembangan sosial anak, salah satunya adalah pola asuh. Orang tua yang sibuk bekerja sering kali membiarkan anak tanpa bimbingan yang memadai. Ada juga yang kurang siap secara mental menjadi orang tua, sehingga interaksi dengan anak minim. Padahal, stimulasi dari lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat sangat penting untuk membentuk keterampilan sosial anak.

Melihat permasalahan ini, tim dosen dari Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) yang terdiri dari Firdaus, S.Kep.Ns., M.Kes., Dr. Eppy Setiyowati, S.Pd., S.Kep., M.Kes., Rahmadaniar Aditya Putri, S.Kep.Ns., M.Tr.Kep., Retna Gumilang, dr., M.Biomed., dan Dr. Wesiana Heris Santy, S.Kep.Ns., M.Kep., melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di PAUD Kasih Ibu Wonokromo.

Tema yang diangkat adalah Deteksi Dini Tumbuh Kembang dan Stimulasi Memakai Baju dan Berbagi sebagai Upaya Peningkatan Perkembangan Sosial. Aktivitas sederhana seperti mengajarkan anak memakai baju sendiri atau berbagi mainan ternyata mampu melatih kemandirian, empati, serta keterampilan sosial anak. 

Kegiatan ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Melalui program ini, dukungan terhadap SDGs 3 tercermin dalam upaya mewujudkan kehidupan sehat dan sejahtera bagi anak sejak dini. SDGs 4 terwujud dengan memberikan pendidikan berkualitas melalui pelatihan kepada guru dan orang tua tentang pentingnya stimulasi sosial. 

Prinsip kesetaraan gender pada SDGs 5 juga didukung dengan mendorong peran setara antara ayah dan ibu dalam pengasuhan. Selain itu, program ini membantu mengurangi ketimpangan sebagaimana yang diusung dalam SDGs 10, khususnya dengan memberikan perhatian pada anak dari keluarga rentan. Tidak kalah penting, kegiatan ini mencerminkan SDG 17, yaitu kemitraan untuk mencapai tujuan, melalui kerja sama antara sekolah, orang tua, dan tenaga kesehatan.

Perkembangan sosial yang baik tidak terbentuk secara instan, melainkan hasil dari proses belajar dan pembiasaan sejak dini. Dengan deteksi dini dan stimulasi yang tepat, anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, mampu berinteraksi sehat dengan lingkungannya, serta memiliki empati tinggi.

Upaya seperti yang dilakukan tim FKK UNUSA ini menjadi langkah nyata untuk memastikan setiap anak mendapatkan kesempatan berkembang secara optimalbaik di  rumah, sekolah, maupun masyarakat demi mencetak generasi masa depan yang sehat, cerdas, dan peduli.(***)