AUTISM Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan otak yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan perilaku. Meski demikian, keterbatasan tidak selalu menjadi penghalang untuk meraih prestasi. Seorang mahasiswa calon guru Bahasa Inggris penyandang autisme menunjukkan bahwa disabilitas dan pendidikan dapat berjalan beriringan. Ketika pendidikan setara dan kesempatan yang sama diberikan, menjadi bukti bahwa pendidikan inklusif mampu membuka jalan bagi semua, tanpa terkecuali.
Menilik penelitian yang dilakukan oleh 3 Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) di SMP Negeri 39 Surabaya. Yakni mengamati bagaimana calon guru dengan autisme tersebut menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di kelas inklusi. Fokusnya adalah mengasah delapan keterampilan dasar mengajar di mulai dari membuka dan menutup pelajaran, memberi variasi, hingga mengelola kelas.
Lokasi ini dipilih karena kelas inklusi menghadirkan tantangan tersendiri di SMP Negeri 39 Surabaya. Di dalamnya, terdapat 12 siswa berkebutuhan khusus dengan berbagai kondisi, seperti slow learner, hiperaktif, dan keterlambatan mental. Situasi ini menuntut guru untuk memiliki kompetensi pedagogik yang mumpuni, kesabaran ekstra, dan kreativitas dalam mengajar.
Selama tiga kali pertemuan, calon guru penyandang autisme ini menunjukkan kemampuan yang patut diapresiasi. Calon guru tersebut terampil dalam memberi pertanyaan dan memberikan penguatan (reinforcement). Serta menghadirkan variasi media pembelajaran dengan Canva, YouTube, dan Quizizz, serta menjelaskan materi secara sistematis.
Dirinya juga mampu membuka dan menutup pembelajaran dengan baik. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah mengelola kelas dan memimpin diskusi kelompok kecil, dimana bidang yang memerlukan interaksi tatap muka intens dan kontak mata yang konsisten.
Dukungan shadow teacher menjadi kunci keberhasilan proses belajar-mengajar. Selain itu, strategi yang disarankan meliputi pelatihan berkelanjutan, sesi berbagi pengalaman dengan guru lain, serta latihan mandiri untuk meningkatkan keterampilan pedagogik.
Hasilnya? menunjukkan adanya kemajuan dari hari ke hari. Meski belum menguasai semua keterampilan mengajar, calon guru tersebut berhasil menunjukkan performa yang baik dalam lima dari delapan keterampilan dasar mengajar. Fakta ini menegaskan bahwa penyandang autisme pun memiliki potensi besar untuk menjadi tenaga pendidik profesional, selama mendapatkan lingkungan belajar yang suportif.
Kisah ini bukan sekadar dokumentasi penelitian, melainkan bukti nyata bahwa pendidikan inklusif dapat berjalan dua arah. Memberi hak belajar kepada semua siswa, sekaligus membuka kesempatan karir bagi calon guru dengan kebutuhan khusus. Dengan dukungan, pelatihan, dan kepercayaan, penghalang dapat diubah menjadi peluang, dan keterbatasan menjadi kekuatan.
Program pembinaan seperti ini adalah langkah penting untuk menciptakan pendidikan yang merata, tanpa diskriminasi, sekaligus mendorong tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Mari kita dukung pendidikan inklusif yang membuka ruang bagi semua, karena mendidik tanpa membeda-bedakan adalah bentuk tertinggi dari keadilan sosial.(***)