KETERLAMBATAN perkembangan anak kini menjadi isu yang sangat serius di tingkat global, termasuk di Indonesia. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa secara global terdapat 52,9 juta anak usia di bawah lima tahun yang mengalami gangguan perkembangan, dengan 95% di antaranya berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan menengah. 

Di Indonesia, WHO mencatat pada tahun 2016 bahwa prevalensi penyimpangan perkembangan pada balita mencapai 7,51%. Lebih mencengangkan lagi, laporan UNICEF dalam program Early Child Care Development tahun 2021 mengungkap bahwa 88% anak Indonesia mengalami keterlambatan perkembangan, dengan 32% diantaranya juga mengalami gizi buruk dan stunting.

Melihat fakta tersebut, tim dosen dari Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) yang terdiri dari Uke Maharani Dewi, SST., M.Kes., Hinda Novianti, SST., M.Kes., Elly Dwi Masita, SST., MPH., dan Annif Munjidah, SST., Bdn., M.Kes. melakukan penelitian mendalam untuk menelusuri penyebab dan solusi atas persoalan ini. 

Penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus 2023 ini melibatkan 72 anak usia 1–6 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 68 anak mengalami keterlambatan perkembangan, dengan rincian 27 anak mengalami keterlambatan motorik halus, 15 anak keterlambatan bahasa, 11 anak keterlambatan motorik kasar, dan 14 anak keterlambatan perkembangan sosial-emosional.

Faktor keluarga dan lingkungan juga ditemukan memiliki kontribusi besar terhadap kondisi ini. Mayoritas keluarga anak-anak tersebut berasal dari latar belakang ekonomi rendah, tinggal di lingkungan padat penduduk dan kurang bersih, serta ada anggota keluarga yang merokok. 

Gaya pengasuhan yang diterapkan pun banyak yang tidak mendukung. Di mana sebanyak 73% orang tua menerapkan pola asuh negatif, seperti kurang perhatian, tidak responsif, atau bahkan keras. Selain itu, gaya hidup yang dijalani oleh keluarga juga tidak mendukung tumbuh kembang anak. Banyak dari mereka merokok, jarang berolahraga, tidak rutin mengkonsumsi buah dan sayur, serta abai terhadap kebersihan diri.

Hal yang tidak kalah penting adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai tahapan perkembangan anak dan cara menstimulasi perkembangan tersebut. Sebanyak 81% responden dalam penelitian ini tidak memahami pentingnya stimulasi dini, sehingga anak-anak tidak mendapatkan dukungan perkembangan yang optimal di rumah. Meski pemerintah telah menempatkan Bunda PAUD di beberapa institusi pendidikan anak usia dini. Keterbatasan jumlah tenaga serta waktu menjadikan upaya ini belum optimal dalam menjangkau semua lapisan masyarakat.

Berdasarkan temuan ini, tim peneliti dari FKK UNUSA mengusulkan pendekatan yang lebih holistik untuk mengatasi keterlambatan perkembangan anak. Model intervensi yang disarankan mencakup perbaikan pola asuh melalui parenting edukatif, peningkatan stimulasi perkembangan anak, dan penguatan dukungan sosial dari masyarakat. Selain itu ada pula penerapan pendekatan health belief model (perilaku kesehatan berbasis keyakinan), serta pengintegrasian nilai-nilai budaya lokal agar intervensi dapat diterima dan dijalankan secara berkelanjutan. Pendekatan lintas sektor ini tidak hanya menargetkan keluarga, tetapi juga melibatkan sekolah, masyarakat, pemerintah daerah hingga pembuat kebijakan nasional.

Penelitian dan intervensi ini sangat relevan dengan beberapa poin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs 3, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan semua usia, diwujudkan melalui upaya mencegah keterlambatan tumbuh kembang dan perbaikan gizi anak. 

SDGs 4, yakni menjamin pendidikan yang inklusif dan berkualitas, diterapkan melalui edukasi kepada orang tua dan masyarakat tentang pentingnya stimulasi anak. SDGs 5 tentang kesetaraan gender juga berkaitan, karena perlu adanya keterlibatan ayah dalam pengasuhan untuk mendukung peran ibu. SDGs 10, yaitu mengurangi ketimpangan, menjadi fokus dalam memberikan dukungan kepada keluarga berpenghasilan rendah. Sementara itu, SDG 17 mendorong kemitraan lintas sektoa ntara akademisi, pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk memperkuat intervensi terhadap tumbuh kembang anak.

Penelitian ini memiliki makna penting karena membuka mata berbagai pihak terhadap urgensi membangun lingkungan tumbuh kembang anak yang sehat, edukatif, dan penuh dukungan. Potensi anak-anak bangsa akan tetap menjadi potensi tanpa realisasi jika tidak ditopang oleh keluarga yang paham, masyarakat yang peduli, dan pemerintah yang hadir secara konkret. Maka, melalui pendekatan ilmiah dan kontekstual seperti yang dilakukan oleh FKK UNUSA, kita berharap dapat melahirkan generasi masa depan yang sehat, cerdas, dan mampu bersaing di kancah global dalam semangat pembangunan berkelanjutan.(***)