BANYAK anak Indonesia di luar negeri yang mulai kehilangan keterhubungan dengan budaya asalnya. Seperti pada anak Indonesia yang tinggal di Malaysia yang kekurangan ruang untuk mengenal budaya Indonesia secara langsung. 

Melalui program pengabdian masyarakat, empat dosen dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Pance Mariati, Nafiah, Sri Hartatik, dan Suharmono Kasiyun, mengadakan pelatihan tari tradisional Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memperkuat identitas kultural siswa serta menumbuhkan kesadaran dan rasa bangga terhadap kekayaan budaya Indonesia.

Program ini dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2024 di Pondok An Nahdlah yang berada  di Kampung Tanjung Sepat Darat, Selangor Malaysia. Lembaga pendidikan yang menampung siswa dari jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Lokasi ini dipilih karena memiliki latar belakang siswa anak-anak Indonesia yang tinggal di Malaysia, serta belum ada penerapan tari tradisional Indonesia di Pondok An Nahdlah. Kondisi ini disebabkan karena kurangnya tenaga pendidik dan fasilitas yang memadai dalam mengajarkan seni tari tradisional Indonesia di pondok ini. 

Tari Saman dari Aceh menjadi tari tradisional yang dipilih dalam pelatihan ini. Tari Saman ini memiliki keunikan dari kekompakan gerakan, suara tepukan dan nyanyian yang mengiringi, bahkan tari ini telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia takbenda. 

Kegiatan pelatihan Tari Saman ini, dimulai dengan memperkenalkan gambaran singkat tentang tari saman. Termasuk makna budaya, asal-usul dan nilai yang terkandung di dalamnya oleh instruktur tari, guna membangun kedekatan dan memberikan motivasi awal kepada santri. Dilanjutkan dengan praktek gerakan dasar, gerak dengan iringan musik, praktek secara bersama-sama, hingga pada tahap evaluasi dan refleksi. Semua kegiatan dilakukan dengan pendekatan praktis langsung, sehingga santri dapat merasakan langsung proses kreatif dalam seni tari. 

Hasilnya? Sangat terasa. Setelah mengikuti pelatihan, kemampuan para santri meningkat pesat. Dari teknik gerak hingga kekompakan, semua aspek mengalami lonjakan signifikan. Misalnya saja kekompakan, yang awalnya hanya 60 persen, naik menjadi 90 persen. Ekspresi mereka dalam menari pun lebih hidup dan percaya diri. Bahkan yang paling penting, mereka kini lebih memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tarian tersebut.

Menariknya, pelatihan ini juga membuka mata para pengurus pondok akan pentingnya memasukkan unsur budaya dalam pendidikan. Mereka pun berkomitmen mendukung program serupa di masa depan dengan menyediakan fasilitas lebih baik seperti kostum dan alat musik. Hal ini menjadi bukti bahwa kesadaran budaya bisa ditumbuhkan melalui pendekatan yang sederhana namun konsisten.

Selain membangun karakter, pelatihan ini juga memperkuat solidaritas antar santri. Dari yang awalnya malu-malu, kini dapat tampil percaya diri berada di atas panggung dalam penampilan penutup. Bahkan kegiatan ini juga turut mempererat hubungan antarbangsa. Lewat seni, budaya Indonesia dikenalkan dengan indah di Negeri Jiran dan menjadi bentuk hubungan internasional budaya yang damai dan menyentuh hati.

Jadi, buat para pendidik dan pegiat budaya, pelajaran pentingnya adalah: budaya tidak harus diajarkan lewat buku tebal atau seminar panjang. Cukup dengan satu lagu, satu gerakan, dan satu semangat kebersaman, maka identitas bisa ditanamkan. Karena di era global seperti sekarang, menjaga akar budaya bukan sekadar penting tapi keharusan.Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mengenalkan budaya Indonesia kepada anak-anak kita sendiri? (***)