Pabrik yang dipenuhi robot, gudang yang diatur oleh kecerdasan buatan, dan keputusan bisnis yang didasarkan pada analisis big data. Inilah wajah Industri 4.0 yang selama ini kita bicarakan. Namun, di tengah kekaguman itu, muncul satu pertanyaan besar yang menghantui banyak orang, jika semua bisa digantikan mesin, lalu apa peran manusia?
Kini Indonesia berada di persimpangan jalan teknologi yang akan menentukan masa depan industrinya. Dalam sebuah kuliah tamu yang diselenggarakan di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) menjadi contoh konkret bagaimana pendidikan berkualitas harus berfungsi menjembatani dunia akademis dengan kebutuhan industri.
Ketua APINDO Jawa Timur, Dr. Ir. H. M. Budi Djatmiko berpendapat bukanlah ‘manusia akan tersingkir’, melainkan ‘peran manusia akan berevolusi’. Banyak yang mengira puncak kemajuan adalah Industri 4.0 dengan segala otomatisasi dan efisiensinya.
Namun, Dr. Budi menjelaskan bahwa dunia kini bergerak menuju sebuah konsep yang lebih maju: Society 5.0. Jika Industri 4.0 menjadikan teknologi sebagai pusatnya demi efisiensi, maka Society 5.0 menempatkan manusia sebagai pusatnya.
Teknologi tidak lagi menjadi tujuan, melainkan alat untuk menyelesaikan masalah sosial dan meningkatkan kualitas hidup secara merata. Ini adalah wujud industrialisasi berkelanjutan di mana pertumbuhan ekonomi berjalan seimbang dengan kesejahteraan sosial.
Di masa depan, kita tidak lagi bersaing dengan mesin, melainkan berkolaborasi. Manusia akan menjadi pengendali teknologi, memanfaatkannya untuk mencapai hasil yang jauh lebih optimal. Pergeseran inilah yang menjadi kunci untuk memastikan terciptanya pekerjaan layak di tengah gelombang otomatisasi.
Adanya tantangan ini, pendidikan memiliki peran penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) masa depan, terutama dalam menciptakan peluang pekerjaan untuk kaum muda. Dunia pendidikan tidak hanya dituntut mengajarkan teori, tetapi juga membekali mahasiswa dengan soft skills, pola pikir, dan literasi digital dalam sebuah kerangka pembelajaran seumur hidup.
Pada akhirnya, persimpangan jalan teknologi ini bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah pilihan. Indonesia bisa memilih untuk sekadar menjadi pengguna pasif, atau menjadi pemeran utama yang mengarahkan teknologi untuk kesejahteraan masyarakat. Kita harus menyiapkan generasi untuk siap beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi kemajuan teknologi.
Transformasi ini adalah tanggung jawab kita bersama pemerintah, pelaku industri, dan terutama dunia pendidikan. Kita harus berhenti melihat masa depan sebagai pertarungan antara manusia melawan mesin, dan mulai membangunnya sebagai era kemitraan yang cerdas. Sebab di masa depan, yang paling berharga bukanlah kekuatan otot atau kecepatan mesin, melainkan kemampuan manusia dalam mengarahkan inovasi dan memanfaatkan infrastruktur digital secara bijaksana. (***)