MASA remaja merupakan fase krusial dalam kehidupan manusia. Di usia 10 hingga 24 tahun, para remaja mengalami berbagai perubahan fisik, psikologis, dan sosial yang signifikan. Periode ini juga seringkali diwarnai dengan rasa ingin tahu yang tinggi serta kerentanan terhadap berbagai perilaku berisiko, termasuk dalam hal kesehatan reproduksi.
Sayangnya, banyak remaja di Indonesia masih belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi. Hal ini bisa berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, hingga perundungan terkait isu-isu sensitif. Padahal, pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting untuk membantu remaja memahami tubuh mereka, menghargai diri sendiri, serta menjalani masa transisi menuju dewasa dengan sehat dan bertanggung jawab.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap isu tersebut, empat dosen dari Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (FKK Unusa) yakni Lailatul Khusnul Rizki, SST., M.P.H, Yati Isnaini Safitri, SST., Bdn., M.Kes, Siska Nurul Abidah, SST.Keb., M.Tr.Keb, dan Esty Puji Rahayu, SST., M.Kes, menggagas program pengabdian masyarakat yang berfokus pada edukasi kesehatan reproduksi bagi para santri di Pondok Pesantren Al Jihad Surabaya.
Pondok pesantren yang terletak di Jalan Jemursari Utara III No. 09, Surabaya ini telah berdiri sejak 1982 dan saat ini memiliki sekitar 300 santri, yang sebagian besar merupakan santri putra. Meskipun telah menjadi tempat pendidikan keagamaan yang berkembang pesat, para pengurus pesantren menyadari pentingnya penguatan aspek kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, di kalangan remaja.
Hasil survei dan wawancara yang dilakukan tim Unusa menunjukkan beberapa masalah krusial: kurangnya pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi, belum pernah diadakannya penyuluhan tentang perilaku seksual pranikah, serta belum adanya remaja yang mampu menjadi agen edukasi di lingkungannya terkait isu ini.
“Kami ingin membekali para santri dengan pengetahuan dan keterampilan yang akan membantu mereka menjadi individu yang sehat, cerdas, dan mandiri, terutama dalam hal kesehatan reproduksi,” ungkap Lailatul Khusnul Rizki, salah satu anggota tim pengabdian.
Program ini tidak hanya bertujuan memberikan pemahaman, tetapi juga memberdayakan para remaja agar mampu menyebarkan kebiasaan baik di lingkungan sekitarnya. Edukasi dilakukan melalui pelatihan interaktif, diskusi kelompok, dan pendekatan berbasis karakter agar santri bisa memahami isu-isu sensitif dengan cara yang tepat dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di pesantren.
Kegiatan pengabdian masyarakat ini juga mendukung pencapaian tujuan dalam program Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3 tentang “Good Health and Well-being” yang menekankan pentingnya kesehatan dan kesejahteraan bagi semua kelompok usia, termasuk remaja. Selain itu, kegiatan ini selaras dengan SDG 4 yaitu “Quality Education”, dengan memberikan pendidikan yang menyeluruh dan relevan sesuai kebutuhan zaman. Melalui pemberian edukasi kesehatan reproduksi di lingkungan pesantren, program ini juga turut menciptakan ruang belajar yang inklusif, aman, dan mendukung tumbuh kembang remaja secara optimal.
Dengan terlaksananya program ini, Unusa berharap para santri tidak hanya memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga mampu menjadi duta perubahan positif yang menyebarkan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi dan menjauhi perilaku berisiko. (***)