PONDOK PESANTREN menjadi salah satu lembaga pendidikan yang memiliki pengaruh besar di Indonesia. Selain menanamkan ilmu agama, pondok pesantren juga berperan penting dalam pembinaan karakter dan kesehatan santri. Namun, pondok pesantren juga merupakan tempat yang berisiko terjadi penularan penyakit sehingga masih membutuhkan perhatian khusus dari segi akses terhadap pelayanan kesehatan, kebersihan, perilaku hidup sehat dan kesehatan lingkungan.
Dalam upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan di lingkungan pesantren modern, sebuah survei introspektif telah dilakukan oleh Dosen kesmas Unusa terhadap para santri di Pesantren Al-Jihad Surabaya dan Pesantren Mahasiswa Islam “An-Nur”. Survei ini menyoroti kondisi kesehatan santri, perilaku hidup bersih dan sehat, serta tantangan yang dihadapi dalam penerapan program kesehatan di lingkungan pondok.
Hasil survei menunjukkan bahwa 90,31% santri telah memahami pentingnya pola hidup bersih dan sehat. Sebagai contoh, sebanyak 98,47% santri tidak berbagi handuk dengan orang lain dan sekitar 75,51% rutin mandi setiap hari. Ini menunjukkan kesadaran yang cukup baik terkait kebersihan pribadi di lingkungan pondok.
Namun, hasil yang menggembirakan ini tidak lantas menghilangkan beberapa catatan penting. Salah satu perhatian utama adalah terkait status gizi para santri. Meskipun sebagian besar santri memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) yang masih dalam kategori normal, ditemukan pula santri yang mengalami gejala anemia. Sekitar 17,86% menunjukkan tanda-tanda seperti bibir dan lidah pucat, sedangkan 59,18% mengaku mudah merasa lelah dan mengantuk. Bahkan, sebanyak 67,86% terindikasi mengalami anemia gizi besi (AGB). Hal ini menunjukkan pentingnya perhatian terhadap asupan nutrisi dan pola makan seimbang.
Survei juga mencatat bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan masih belum optimal. Walaupun 69,90% santri telah memiliki BPJS atau asuransi kesehatan lainnya, hanya 58,16% yang menyatakan bersedia memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan saat sakit. Sebagian lainnya masih ragu karena faktor jarak atau kekhawatiran terkait biaya.
Di sisi lain, kesehatan mental juga menjadi isu yang tak kalah penting. Banyak santri mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di lingkungan pesantren, yang dapat berdampak pada kondisi emosional dan psikososial mereka. Oleh karena itu, diperlukan program pendampingan dan edukasi kesehatan mental yang menyasar seluruh warga pesantren.
Selain itu, penyakit kulit seperti scabies juga masih ditemukan, dengan gejala seperti gatal dan kemerahan pada malam hari dialami oleh 14,29% santri. Faktor kebersihan lingkungan dan peralatan tidur sangat berpengaruh dalam penyebaran penyakit ini. Sementara itu, tuberkulosis (TB) juga menjadi perhatian serius. Beberapa santri memiliki karakteristik yang menunjukkan risiko terhadap TB paru, sehingga penting untuk meningkatkan kesadaran dan skrining secara rutin.
Secara umum, meskipun para santri sudah menunjukkan kesadaran tinggi akan pentingnya menjaga kebersihan, perhatian terhadap gizi, kesehatan mental, dan akses pelayanan kesehatan masih perlu ditingkatkan. Upaya perbaikan dapat dilakukan melalui edukasi gizi, pemeriksaan kesehatan berkala, serta penguatan sistem pelayanan kesehatan di pesantren.
Kolaborasi antara pengelola pondok pesantren, tenaga kesehatan, dosen, dan orang tua sangat diperlukan agar santri tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga terpenuhi kebutuhan gizinya serta memiliki kesehatan mental yang baik. Dengan begitu, proses belajar dan kehidupan di pesantren dapat berlangsung secara lebih optimal. (***)