KASUS bullying atau perundungan masih sering terjadi di lingkungan sekolah. Fenomena ini menjadi perhatian banyak pihak karena dampaknya sangat merugikan, terutama bagi para korbannya. Oleh karena itu, edukasi mengenai pencegahan bullying sangat penting dilakukan sedini mungkin agar kasus ini tidak terus berulang.

Sebagai bentuk kepedulian terhadap isu ini, tiga dosen Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), yaitu Nur Hidayah, Syiddatul Budury, dan Nunik Purwanti, bersama sejumlah mahasiswa, menggelar edukasi dan pendampingan bagi siswa-siswi di SDN Ketintang 1 Surabaya. Kegiatan ini berlangsung sejak Maret hingga Agustus 2024 dalam bentuk program pemberdayaan dan psikoedukasi untuk mencegah terjadinya bullying.

Terkait dengan program SDGs (Sustainable Development Goals), kegiatan ini masuk dalam SDG 4, Quality Education (Pendidikan Berkualitas). Pencegahan bullying masuk ke dalam lingkup menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas kekerasan, termasuk kekerasan verbal, fisik, atau psikologis seperti bullying.

Kegiatan ini juga masuk pada point SDG 16, Peace, Justice and Strong Institutions (Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh). Bullying, sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk dalam sasaran SDGs ini.

Ketua tim pengabdian masyarakat, Nur Hidayah, menjelaskan bahwa program ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran meningkatnya kasus bullying yang menyasar anak-anak usia sekolah.

“Kami ingin menghentikan bullying sejak dini. Edukasi dimulai dari siswa sekolah dasar agar ketika mereka tumbuh besar, sudah memahami bahwa bullying adalah perilaku yang tidak dapat dibenarkan,” ujar Nur.

Pemilihan SDN Ketintang 1 sebagai lokasi kegiatan juga bukan tanpa alasan. Berdasarkan observasi, siswa di sekolah tersebut masih belum memahami bagaimana berinteraksi dengan teman secara sehat dan tanpa kekerasan. Pemahaman mereka tentang dampak bullying, baik bagi korban maupun pelaku, masih minim. Mereka juga belum mengetahui cara mencegah perilaku kekerasan di lingkungan sekolah.

Nur menambahkan, anak yang terlibat dalam tindakan bullying umumnya menunjukkan berbagai respons, seperti menjadi agresif, pendiam, penakut, cenderung menghindar, hingga bersikap masa bodoh. Baik pelaku maupun korban sama-sama bisa mengalami dampak negatif, khususnya dalam aspek psikologis.

Menurut data dari World Health Organization (WHO), sekitar 37% anak perempuan dan 42% anak laki-laki di dunia pernah menjadi korban bullying. Jenis perundungan yang sering terjadi mencakup kekerasan seksual, konflik fisik, dan tekanan psikologis.

Sementara itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa pada tahun 2020 terdapat 199 kasus bullying pada anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara 30 hingga 60 kasus. Survei di Indonesia juga mencatat bahwa sekitar 34,67% pelajar pernah mengalami bullying fisik di sekolah, sementara 34,06% lainnya mengalami bullying secara psikologis. Tak hanya itu, 63% pelajar mengaku pernah menyaksikan langsung tindakan perundungan, dan 20% lainnya bahkan pernah menjadi pelaku bullying. Menariknya, pelajar perempuan dilaporkan lebih sering menyaksikan kejadian bullying dibandingkan laki-laki.Upaya mengurangi kejadian bullying tak hanya difokuskan pada korban, tetapi juga penting untuk memperhatikan kondisi psikologis pelaku.

Salah satu langkah efektif adalah dengan memberikan edukasi yang tepat. Edukasi ini bertujuan untuk membantu anak-anak mengembangkan life skills atau keterampilan hidup melalui program-program berbasis kelompok yang terstruktur. Dengan pendekatan ini, diharapkan anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih empatik dan mampu berinteraksi secara sehat di lingkungan sosial mereka. (***)