PERNAHKAH anda merasa harga kebutuhan pokok semakin hari semakin meningkat? Mulai dari biaya makan, biaya transportasi, kuota internet, hingga biaya pendidikan. Inilah gambaran sederhana dari rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Di satu sisi, pemerintah menyebut langkah ini sebagai harapan untuk mendanai pembangunan dan program-program unggulan. Namun di sisi lain, masyarakat kecil hingga menengah melihatnya sebagai tantangan baru. Lantas, apakah kebijakan ini benar-benar sebuah peluang emas untuk negara, atau justru menjadi beban bagi rakyat? Seorang pakar ekonomi dari Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, M. Ghofur, S.E., M.Ak., mencoba membedah persoalan ini.

Tujuan utama kebijakan fiskal ini adalah untuk memperbaiki sistem perpajakan dan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan pendapatan yang besar negara memiliki peningkatan kapasitas untuk menjalankan pembangunan terutama di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tanpa bergantung pada utang. Namun, hal ini juga memiliki dampak negatif seperti peningkatan beban rumah tangga dan inflasi. Secara otomatis, uang Rp100.000 yang Anda pegang hari ini akan memiliki nilai beli yang lebih rendah setelah PPN naik.

Ini adalah pukulan keras bagi daya beli, terutama bagi masyarakat berpenghasilan tetap. Inflasi dapat memicu efek domino di antaranya: biaya produksi meningkat, upah pekerja dituntut naik, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi terhambat karena konsumsi masyarakat menurun.

Pada akhirnya, kenaikan PPN 12% ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan peluang untuk kemandirian fiskal dan pembiayaan program vital. Di sisi lain, ia membawa risiko nyata berupa penurunan daya beli dan perlambatan ekonomi jika tidak dikelola dengan hati-hati. Sebagai warga negara, kita semua akan merasakan dampaknya.

Kini, bola ada di tangan pemerintah. Keberhasilannya memerlukan pemantauan yang ketat dan kemitraan multi pihak antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk membuktikan bahwa kebijakan ini akan membawa lebih banyak manfaat dari pada mudarat. Bagaimana menurut Anda, siapkah kita menghadapi babak baru ini? (***)