MASIH banyak ditemukan siswa kelas 1 SD yang belum bisa membaca huruf. Fenomena ini kerap membuat orang tua khawatir, bahkan panik. Tapi jangan buru-buru menyalahkan anak atau guru.
Mengangkat penelitian yang dilakukan oleh tiga dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (FKIP Unusa): Alifiah Nur Rosidah Suharmono Kasiyun, Syamsul Ghufron, dan Muslimin Ibrahim, menerapkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) memberikan dampak nyata terhadap kemampuan membaca siswa.
Penelitian yang dilakukan di SD Miftahul Ulum Surabaya menunjukkan, sejak 2018, sekolah tersebut konsisten menerapkan GLS yang menyasar siswa-siswa kelas awal. Dan itu menunjukkan hasil yang luar biasa. Berkat konsistensi dan kolaborasi antar guru, banyak siswa yang awalnya belum mengenal huruf kini sudah lancar membaca kalimat sederhana.
Program GLS di sekolah ini tidak sekadar formalitas. Setiap hari Senin dan Rabu, para siswa menjalani sesi literasi yang menyenangkan. Kegiatannya pun beragam, mulai dari membaca nyaring, bermain kartu huruf, menyanyi alfabet, hingga berdiskusi isi cerita. Semua dibuat dengan pendekatan bermain agar anak-anak merasa senang dan tidak terbebani.
Tentu saja, perjalanannya tidak selalu mulus. Guru-guru menghadapi tantangan besar, seperti keterbatasan jumlah pengajar, siswa yang belum mengenal huruf sama sekali, hingga kurangnya dukungan dari orang tua. Namun, semangat para guru untuk tidak menyerah patut diacungi jempol. Mereka merancang strategi bersama, bahkan memberikan pendampingan langsung pada siswa yang mengalami kesulitan. Yang menarik, tidak hanya guru kelas yang turun tangan, tapi juga guru literasi turut terlibat aktif dalam proses belajar.
Salah satu elemen penting dalam program ini adalah “Sudut Baca” di setiap kelas. Meski buku yang disediakan terbatas, anak-anak tetap antusias. Buku-buku bergambar menarik membuat mereka ingin membaca, memilih sendiri cerita yang disukai, membaca dalam hati atau lantang, lalu berdiskusi tentang isi cerita. Tujuannya bukan hanya agar anak bisa membaca, tapi juga memahami apa yang dibaca.
Dan hasilnya? Anak-anak yang awalnya hanya bisa mengeja “a-ba-ca-da” kini sudah bisa membaca buku cerita. Ini menjadi bukti bahwa program literasi seperti GLS, jika dijalankan dengan konsisten dan pendekatan yang menyenangkan, mampu memberikan perubahan nyata. Bukan sekadar program seremonial belaka.
Dari penelitian yang dilakukan, menjadi pengingat penting bagi kita semua bahwa membentuk minat baca tidak cukup hanya dengan mengatakan “ayo baca”. Dibutuhkan suasana yang menyenangkan, metode yang kreatif, dan dukungan dari berbagai pihak—guru, sekolah, hingga orang tua.
Bagi sekolah-sekolah lain yang masih mencari cara menumbuhkan kecintaan membaca sejak dini, mungkin sudah saatnya melirik model GLS ala SD Miftahul Ulum. Karena di era serba digital seperti sekarang, kemampuan membaca saja belum cukup. Anak-anak juga perlu paham, menikmati, dan mencintai proses membaca. Dan semua itu bisa dimulai dari satu sudut baca kecil di pojok kelas. (***)