SEKOLAH seharusnya menjadi tempat aman dan menyenangkan bagi anak-anak. Namun kenyataannya, pada tahun 2023 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan terdapat 861 kasus kekerasan yang terjadi di lingkup pendidikan. Kasus itu terjadi dalam rentang waktu Januari-Agustus 2023.
Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkup pendidikan menjadi perhatian banyak pihak, termasuk Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA). Kekerasan yang terjadi di lingkup pendidikan ini dilakukan oleh orang dewasa maupun sesama siswa.
Oleh karena itu membangun kesadaran dalam menciptakan lingkungan belajar yang ramah anak menjadi poin penting. Hal itu juga sekaligus mendorong terwujudnya pendidikan berkualitas, kesejahteraan siswa, masyarakat yang damai, keadilan untuk semua, dan kesempatan yang sama.
Melihat fenomena tersebut, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNUSA bersama dengan 14 sekolah dasar di Surabaya dan Sidoarjo menjalankan program pengabdian masyarakat. Program ini mengajak kepala sekolah dan guru mengenal serta mempraktikkan disiplin positif. Pendekatan yang menekankan pada kesadaran bukan paksaan.
Data KPAI pada tahun 2023 mencatat lebih dari delapan ratus kasus kekerasan di sekolah. Fakta ini menunjukkan bahwa pola pikir lama dalam mendidik anak masih banyak dipakai. Program disiplin positif hadir untuk mengubah pendekatan tersebut, dari hukuman menjadi konsekuensi logis yang mendidik. Harapannya, anak-anak bisa tumbuh dalam suasana yang nyaman, serta terbentuk karakter sesuai nilai Profil Pelajar Pancasila.
Program berlangsung antara Desember 2023 hingga Februari 2024, dilakukan secara langsung dan juga daring. Guru dan kepala sekolah mengikuti pelatihan berjenjang: mulai dari mendengarkan materi, membuat peta konsep, mendiskusikan studi kasus, hingga menyusun rencana tindak lanjut. Metode latihan praktik diterapkan agar peserta benar-benar terampil, bukan sekadar memahami teori.
Tidak semua guru langsung terbiasa. Masih ada yang memandang “disiplin” identik dengan hukuman. Untuk mengatasi hal itu, tim pelaksana menyiapkan simulasi, pemutar video, serta diskusi kasus nyata. Selain itu, para guru didorong untuk berbagi pengalaman lewat kelompok kerja maupun komunitas belajar, sehingga praktik disiplin positif bisa konsisten diterapkan.
Keunggulan program ini ada pada praktik langsung. Guru tidak hanya diberi teori, tetapi juga berlatih menghadapi situasi nyata. Mereka belajar menyusun keyakinan kelas bersama siswa, menerapkan segitiga restitusi, serta membedakan hukuman dengan konsekuensi yang mendidik. Pendekatan aktif ini membuat peserta merasa lebih siap dan percaya diri untuk mengaplikasikannya di kelas.
Setelah mengikuti pelatihan, guru dan kepala sekolah mulai mampu menerapkan disiplin positif di sekolah masing-masing. Bahkan, mereka berinisiatif menyebarkan pemahaman ini melalui rapat, sosialisasi, hingga forum komunitas. Perlahan, semakin banyak sekolah yang bergerak menuju lingkungan ramah anak, di mana kedisiplinan lahir dari kesadaran, bukan ancaman.
Disiplin positif mengajarkan bahwa mendidik anak bukan dengan hukuman, melainkan dengan membangun kesadaran diri. Dengan pendekatan ini, sekolah dapat menghadirkan suasana belajar yang nyaman, aman, sekaligus mendorong lahirnya pelajar berkarakter Pancasila.
Ketika anak merasa bahagia belajar, guru pun akan bahagia mengajar. Pada akhirnya, sekolah akan menjadi ruang yang hidup, ramah, dan penuh semangat. Pendidikan seperti inilah yang kita butuhkan: mendidik dengan hati, bukan dengan amarah.(***)