HIPERTENSI bukan hanya tentang tekanan darah tinggi yang datang tiba-tiba. Penyakit ini sering disebut sebagai “silent killer” karena dampaknya yang perlahan tapi pasti bisa merusak berbagai organ tubuh jika tidak dikendalikan dengan baik. Sayangnya, masih banyak penderita hipertensi yang belum menyadari pentingnya gaya hidup sehat, termasuk dalam mengelola emosi yang mereka rasakan sehari-hari. 

Gaya hidup yang positif sangat dibutuhkan untuk pengendalian tekanan darah. Namun kenyataannya, sebagian besar penderita hipertensi belum memiliki keterampilan atau kebiasaan yang mendukung. Sehingga tekanan darah mereka tidak terkendali dan berpotensi menimbulkan komplikasi serius.

Berangkat dari kondisi tersebut, dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), yaitu Dr. Umdatus Soleha, SST., M.Kes, Siti Nurjanah, S.Kep.Ns., M.Kep., drg. Umi Hanik, M.Kes., dan Dr. Ima Nadatien, S.KM., M.Kes., melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan di Dusun Polos Kuning, Lamongan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penderita hipertensi dalam mengelola emosi serta membangun gaya hidup yang lebih sehat dan positif. 

Program ini dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahap pra kegiatan berupa persiapan administrasi dan sarana-prasarana, tahap pelaksanaan yang mencakup pre-test dan post-test, edukasi kesehatan, serta demonstrasi manajemen emosi, dan tahap pasca kegiatan berupa evaluasi keberlanjutan program.

Sebanyak 87 penderita hipertensi mengikuti kegiatan ini. Mayoritas berjenis kelamin perempuan (99%) dan berada dalam kelompok usia lansia akhir (88,5%). Sebagian besar telah menderita hipertensi lebih dari empat tahun, dengan tingkat pendidikan terbanyak pada jenjang pendidikan dasar. 

Sebelum mendapatkan edukasi, hanya 38% peserta yang memiliki pengetahuan yang baik tentang manajemen hipertensi dan pengelolaan emosinya. Setelah diberikan edukasi dan pendampingan, terjadi peningkatan signifikan menjadi 63%. Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi berbasis edukasi kesehatan dan penguatan emosi mampu meningkatkan kemampuan penderita dalam mengenali dan mengelola penyakitnya secara lebih baik.

Manajemen emosi memainkan peran penting dalam pengendalian tekanan darah. Emosi yang tidak terkelola, seperti stres dan kecemasan, dapat memicu lonjakan tekanan darah yang berbahaya. Oleh karena itu, edukasi yang diberikan juga mencakup pemahaman tentang lima komponen penting dari illness perception atau persepsi penyakit. Yaitu identifikasi penyakit, penyebab, konsekuensi, lama pengobatan, dan cara pengendalian. 

Pemahaman ini tidak hanya membekali penderita secara kognitif, tetapi juga membantu mereka menyesuaikan respon emosional terhadap penyakit yang diderita. Peran keluarga dalam mendukung perubahan gaya hidup penderita hipertensi juga menjadi sorotan penting dalam kegiatan ini. 

Dukungan keluarga terbukti sangat efektif dalam meningkatkan kepatuhan penderita terhadap pengobatan, pola makan sehat, aktivitas fisik, hingga kesadaran untuk rutin melakukan pemeriksaan tekanan darah. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang belum memahami pentingnya keterlibatan mereka. Oleh karena itu, edukasi juga menyasar keluarga agar mereka mampu menjadi support system yang aktif dan empatik dalam mendampingi anggota keluarga yang menderita hipertensi.

Studi oleh Peltzer (2018) menunjukkan bahwa di antara 29.965 penduduk usia 18 tahun ke atas, sekitar 33,4% menderita hipertensi. Namun, hanya 14,3% yang tekanan darahnya terkontrol dan 11,5% yang menjalani terapi dengan obat secara konsisten. Rendahnya kesadaran dan kepatuhan ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif. Tidak hanya melalui pemberian obat, tetapi juga melalui perubahan gaya hidup yang melibatkan aspek psikologis dan sosial. Gaya hidup sehat membutuhkan kedisiplinan, keterampilan pengaturan diri (self-regulation), serta dukungan lingkungan yang kondusif, terutama dari keluarga.

Program pengabdian masyarakat ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Khususnya SDGs 3 tentang Kesehatan dan Kesejahteraan (Good Health and Well-being), karena berfokus pada peningkatan kualitas hidup penderita penyakit tidak menular melalui pendekatan edukatif dan promotif. 

Program ini juga mendukung SDGs 4 tentang Pendidikan Berkualitas (Quality Education), karena memberikan akses pendidikan kesehatan kepada kelompok rentan. Serta, SDGs 5 tentang Kesetaraan Gender (Gender Equality) mengingat mayoritas peserta adalah perempuan lansia. Selain itu, kegiatan ini juga relevan dengan SDGs 17 tentang Kemitraan untuk Mencapai Tujuan (Partnerships for the Goals), karena melibatkan kolaborasi antara perguruan tinggi, tenaga kesehatan, dan masyarakat dalam membangun pola hidup sehat yang berkelanjutan.

Melalui program ini, Unusa tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga membuka ruang bagi perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat. Pengelolaan hipertensi bukan hanya tanggung jawab individu penderita, tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dengan pengelolaan emosi yang baik, dukungan keluarga yang kuat, dan edukasi kesehatan yang berkelanjutan, diharapkan penderita hipertensi dapat menjalani hidup yang lebih sehat, mandiri, dan sejahtera.(***)