SELAMA INI, banyak dari kita yang masih berpikir bahwa urusan anak itu ‘tugas ibu’. Ayah? Cukup kerja cari nafkah. Tapi benarkah harus begitu? 

Padahal, pengasuhan anak di usia dini bukan sekadar rutinitas harian yang bisa dititipkan sepenuhnya pada ibu. Di masa ini, waktu yang penting untuk membentuk dasar kemampuan  kognitif, emosional, dan sosial anak, hingga kesiapan mengikuti pendidikan prasekolah. Jika  hanya ibu yang memikul peran ini, maka akan terjadi ketimpangan peran dalam keluarga. 

Di sinilah pentingnya kesetaraan gender dalam pola asuh, agar ayah dan ibu sama-sama terlibat dan memiliki kesempatan yang setara. Sehingga anak tumbuh lebih seimbang, dan ibu pun tidak kewalahan. Lebih dari sekadar soal keadilan, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan suportif bagi tumbuh kembang anak. 

Melihat situasi tersebut, tiga dosen dari Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) diantaranya Andini Hardiningrum, Destita Shari, dan Jauharotur Rihlah tak ingin tinggal diam. Mereka mengadakan seminar parenting yang dirancang dengan tujuan meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.

Seminar ini dilaksanakan di PAUD RA Yaa Bunayya Darussalam Surabaya dan melibatkan 30 orang tua. Materi yang disampaikan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis. Para ayah diajak menyusun jadwal kegiatan bersama anak, memahami kebutuhan emosional anak, serta berdiskusi tentang cara membagi peran dengan pasangan secara adil dan efektif.

Pada kegiatan ini para dosen Unusa juga turut mendukung beberapa poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Seperti poin ketiga yang berkaitan dengan kesehatan yang baik dan kesejahteraan melalui family planning. Poin keempat yaitu pendidikan bermutu, juga poin kelima mengenai kesetaraan gender yang kaitannya dengan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua.

Mengapa keterlibatan ayah menjadi hal yang genting?

Karena berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dengan kehadiran ayah yang aktif cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi, kemampuan bersosialisasi yang lebih baik, dan kepekaan emosional yang lebih tajam. Kehadiran ayah juga membantu membentuk ikatan emosional yang kuat dan stabil dalam keluarga.

Menariknya, kegiatan ini tidak hanya berlangsung dalam bentuk seminar satu hari. Tim dosen Unusa juga memberikan pendampingan kepada para ayah selama satu tahun penuh. Salah satu bentuk pendampingannya ialah dengan memberikan jadwal untuk kegiatan ayah dan anak selama 1 minggu yang dilakukan secara berulang. 

Tujuannya agar perubahan perilaku tidak hanya bersifat sesaat, melainkan menjadi kebiasaan positif dalam pola pengasuhan sehari-hari. Hasilnya sangat menggembirakan. Para ayah yang sebelumnya cenderung pasif dan terlalu sibuk dengan pekerjaan mulai menyadari pentingnya meluangkan waktu bersama anak. 

Beberapa bahkan mulai rutin menemani anak belajar, bermain bersama, hingga membantu istri dalam aktivitas rumah tangga. Dampaknya pun terasa: para ibu merasa lebih didukung, dan hubungan dalam keluarga menjadi lebih harmonis.

Program ini menjadi bukti bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu. Bukan soal siapa yang paling lelah atau siapa yang paling sering di rumah, tetapi bagaimana keduanya bisa hadir secara utuh untuk anak-anak mereka.

Untuk para ayah di luar sana, inilah saat yang tepat untuk lebih terlibat. Tidak harus mengorbankan pekerjaan, cukup dengan menyisihkan waktu secara konsisten untuk terlibat dalam pertumbuhan dan kegiatan anak. Karena satu pelukan, satu cerita, atau satu permainan sederhana dari ayah bisa berarti besar dalam dunia si kecil.

Ayah bukan hanya mencari nafkah. Ayah juga pembimbing, pelindung, dan teladan pertama bagi anak. Mari hadir secara nyata, bukan sekadar ada. (***)